top of page

SADDAM

Logo Web Ray.png
  • Facebook - White Circle
  • Instagram - White Circle
  • YouTube - White Circle
  • Steller-logo

ZIARAH GUNUNG API TAMBORA

  • admin
  • May 30, 2015
  • 3 min read

Tanah Sumbawa memiliki banyak wajah, sejarah dan cerita. Setiap sudutnya menjanjikan panorama serta kisah menawan sampai peristiwa kelam. Awal tahun 2015, aku bersama Don Hasman, fotografer dan penjelajah alam juga kawan lainnya, melakukan pendakian napak tilas dua abad meletusnya gunung api Tambora. Di sana pun diadakan berbagai acara dan festival bertajuk “Tambora Menyapa Dunia”. Presiden Jokowi turut hadir untuk sekaligus meresmikan kawasan gunung api Tambora sebagai Taman Nasional.

Menilik sedikit sejarahnya, letusan besar diawali pada tanggal 5 April 1815. Gunung api Tambora menggelegar mengeluarkan gemuruh. Letusannya yang serupa tiang api meletus menembus stratosfer angkasa. Puncaknya, tubuh bagian atasnya terhempas sampai sepertiga pada dini hari tanggal 11 April 1815. Gelegar letusannya terdengar sampai ke Kota Makassar, yang jaraknya sekitar 2000 km.


Menurut catatan Ade Djumarna Wirakusumah dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), tinggi letusannya yang menembus stratosfer mencapai 44 km. Bahkan, bagian partikel debunya sempat ditemukan para ahli mineral di lapisan bawah es kutub utara dan selatan. Hampir seluruh bagian bumi diselimuti partikel abu halusnya. Dalam kurun waktu 3 hari setelah meletus, korban tewas diperkirakan mencapai 92.000 jiwa di pulau Sumbawa, Lombok, Bali dan Jawa. Bebatuan seukuran becak terlempar sejauh 20 km dari puncaknya dahulu. Bebatuan vulkanik, pasir maupun debu bertebaran dalam radius 20 km setinggi 1 – 10 meter. Material ini mengubur 3 kesultanan yaitu Tambora, Pekat dan Sanggar beserta desa-desa lainnya.

Kami mengawali langkah dengan menyeberangi sungai Oi Marai yang lebar dan berair jernih, lalu dilanjutkan dengan menelusuri bagian barat punggungan sungai berarus deras tersebut. Cahaya mentari menerobos lewat sela-sela dedaunan di vegetasi hutan yang tak begitu lebat. Namun semakin berjalan lebih jauh, sampailah kami di hutan hujan tropis primer yang dihuni pohon-pohon besar dengan diameter batangnya mencapai 3 meter. Di kawasan ini banyak tumbuh pula berbagai jenis jamur dan aneka spesies bunga liar dengan berbagai bentuk dan warna. Rusa liar berkeliaran di Ngguwu Saha atau lembah cabai rawit, dinamai begitu karena lembahnya banyak tumbuh tanaman cabai rawit. Burung endemik pun senantiasa berkicau menemani sepanjang perjalanan kami. Di antaranya adalah paok laus (Pitta elegans) dan cekakak tunggir putih (Caridonaz fulgidus).


Saat malam menjelang, langit kelam laksana bertabur milyaran permata. Bintang-bintang saling mengerling memancarkan cahaya. Meski cuaca dingin menusuk, aku tetap betah bertahan di luar tenda. Memandang langit, menghitung bintang jatuh yang terus-terusan seakan memanjakan indera rasa dan penglihatan.


Pendakian tahap berikutnya memakan waktu sekitar 3 jam untuk mencapai bibir kaldera dari perkemahan Ngguwu Ama Tamarih (POS 5). Pagi-pagi sekali kami berangkat. Bebatuan melingkupi di hampir keseluruhan treknya. Hembusan kabut menyapa silih berganti. Bahkan sesekali rintik-rintik air menyentuh kulit. Pada awalnya kami khawatir tak kebagian cuaca cerah di bibir kaldera. Namun semesta begitu baik. Di bawah naungan langit biru nan bersih, kami memandangi dengan khusyuk seluruh lingkaran bibir kaldera Tambora yang bergaris tengah sekitar 7,5 km. Ia tampak demikian anggun dan megah. Di dasarnya yang bergaris tengah 5-6 km, tampak jelas kepulan asap dari solfatara[1] dan fumarola[2]. Terlihat pula di lereng terjal tepian bagian dalam kaldera lapisan-lapisan sisa letusan yang membentuk tubuh Tambora antara 100.000 – 400.000 tahun silam, sebagaimana diungkapkan oleh vulkanolog Akira Takada dari Jepang dalam ceramahnya di “Commemorating The 200 Year Anniversary Of The Tambora Eruption” di Bima, NTB, bulan April 2015.

Perjalanan mendaki selama 4 hari 3 malam ini ditemani oleh 2 porter tangguh yang bernama Bunyamin dan Guntur. Orang-orang dengan daya tahan hidup dan dan kepekaan terhadap alam yang tinggi. Berhari-hari di hutan untuk mencari madu atau berburu rusa sudah menjadi keseharian mereka untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Pengetahuannya akan letak-letak sumber mata air dan daun-daun yang bisa dijadikan obat alternatif sangat membantu kami. Sosok-sosok inilah yang tak pernah lelah menghibur meski mereka membawa beban paling banyak dan berat. Minimal 30 kilogram tanggungan yang mereka pikul. Berat rasanya ketika kami hendak berpisah dengan mereka.

Pengalaman mendaki Gunung api Tambora ini merupakan salah satu peristiwa yang paling mudah kukenang. Kombinasi antara dahsyatnya bentang alam dan canda tawa bersama kawan-kawan sepanjang pendakian menjelma formula ampuh yang membuat keinginan untuk segera kembali ke sana menggelegak.

On Progress : Buku Kolaborasi bersama Don Hasman & Friends


* Solfatara adalah sumber gas belerang (yang setelah membeku menjadi belerang padat)

* Fumarola adalah dalah sejenis bualan gas dan uap di daerah gunung api yang membubung dengan kekuatan besar atau kecil dengan disertai suara lemah atau nyaring dari lubang atau rekahan dalam kawah, di lereng atau kaki suatu gunung api.

Teks & Foto : Ismi Rinjani & Ray Syahputra



Comments


Featured Posts
!
Recent Posts
!
Archive
Search By Tags
Follow Us
  • Facebook - Black Circle
  • Instagram - Black Circle
  • YouTube - Black Circle
bottom of page