top of page

SADDAM

Logo Web Ray.png
  • Facebook - White Circle
  • Instagram - White Circle
  • YouTube - White Circle
  • Steller-logo

RAGAM PESONA TANJUNG BIRA

  • admin
  • Feb 28, 2018
  • 6 min read

Berkunjung ke Sulawesi Selatan rasanya kurang lengkap bila tidak mengunjungi pantai-pantainya yang cantik. Banyak dari pantai cantik itu terdapat di Kabupaten Bulukumba. Salah satu yang paling terkenal adalah Tanjung Bira. Tidak hanya pantai cantik, Tanjung Bira juga terkenal sebagai “pabrik” Phinisi, kapal layar tradisional Suku Bugis dan Makassar. Terletak 196 km dari Kota Makassar, eksotisme pantai-pantai di Desa Bira menarik pengunjung domestik maupun internasional.

Kami, 8 orang pelancong dengan latar belakang yang berbeda-beda ikut kepincut dengan cerita tentang eksotisme Bira. Kami pun berencana mengunjungi Bira selama 3 hari. Berbekal beras, mie, roti, kompor, 1 tenda kapasitas 3 orang (untuk cadangan nginap), hammock, matras, dan 1 unit mobil APV, kami bertolak dari Makassar menuju Tanjung Bira. Sepanjang perjalanan, kami tak henti berdiskusi, cerita, tertawa, dan berusaha mengakrabkan diri sambil ditemani musik-musik indie label. Sekitar satu jam perjalanan kami memasuki Kabupaten Takalar, kabupaten yang terkenal dengan industri kerajinan gerabahnya. Tapi tidak, kami tidak mengunjungi tempat pembuatan gerabah itu, kami justru “mengejar” hamparan tambak garam di Kabupaten Takalar. Sudah terbayang di kepala kami spot-spot foto, tambak garam dengan garam yang ditumpuk membentuk gundukan-gundukan garam berwarna putih dan latar belakang matahari terbenam, siluet para petani yang sedang bekerja mengurus garamnya, dan lain-lain. Namun sayang, ekspektasi itu harus kami telan mentah-mentah. Awan yang mendung dan garam-garam yang sudah dipanen meruntuhkan ekspektasi kami. Kami melanjutkan perjalanan.

Asyik bercerita dan menikmati perjalanan, tanpa sadar waktu makan tiba. Alun-alun Pantai Seruni, Kabupaten Bantaeng menjadi pilihan kami untuk mengisi perut yang sudah keroncongan sejak satu jam yang lalu. Pantai Seruni bersih dan apik, cocok untuk nongkrong di malam hari. Kelap-kelip lampu warna-warni di sekitar alun-alun cukup memanjakan jiwa kami.

Kami melanjutkan perjalanan, Jarak antara Pantai Seruni dan Bira, tujuan kami, tidaklah terlalu jauh sekitar dua Jam saja. Rupanya perut yang sudah penuh dengan nasi goreng membuat mata kami sedikit mengantuk. Intensitas percakapan sedikit berkurang. Setelah dua jam perjalanan kami tiba di Desa Bira, tujuan kami. Tempat kami akan menginap berada di Kawasan Pantai Bira. Di kawasan tersebut terdapat banyak sekali penginapan dengan harga yang sangat bervariasi. Mulai dari harga murah untuk backpackers sampai harga selangit dengan fasilitas mewah. Diantara variasi harga tersebut, kami memilih yang gratis. Beruntung, kami ditawari penginapan oleh seorang teman untuk menginap selama 2 malam. 1 kamar cukup untuk kami ber-8 dengan 1 kamar mandi dalam, AC, TV, tempat tidur, karpet, kursi, meja, dan jemuran.

Rencananya, Sabtu pagi akan kami habiskan dengan hunting foto sunrise di Pantai Panrang Luhu, salah satu lokasi pembuatan Phinisi. Namun rupanya rencana kami lagi-lagi gagal, langit yang mendung menjadi alasannya. Namun hal itu bukan menjadi masalah yang berarti, kami tetap menikmati suasana pagi di Pantai Panrang Luhu dan memotret aktifitas-aktifitas pagi di sana. Angin sepoi-sepoi, suara ombak, air laut biru tenang, pasir putih, serta langit yang berwarna keunguan sama sekali tidak membuat kami kecewa sedikitpun. Di bagian utara pantai berjejer puluhan Phinisi yang sedang dalam tahap penyelesaian. Dengan beragam ukuran, mulai dari yang kecil hingga super jumbo. Sedangkan di bagian lain pantai berjejer villa-villa, warung makan sederhana, serta tertambat beberapa perahu nelayan. Suasana pagi di Pantai Panrang Luhu kala itu tenang, sepi dan damai. Sangat menenangkan bagi kami yang penat dengan kehidupan kota. Kami meninggalkan Pantai Panrang Luhu dan kembali ke penginapan pada pukul 10.00 merencanakan tujuan kami selanjutnya yaitu Pulau Liukang.

Kami beristirahat sejenak di penginapan sebelum ke Pulau Liukang. Sambil beristirahat, kami mengisi daya baterai kamera dan menyiapkan bekal makan siang untuk di perahu nantinya. Tujuan kami ke Pulau Liukang adalah untuk snorkeling. Pulau Liukang memang terkenal akan airnya yang jernih dan keindahan terumbu-terumbu karangnya. Kami sudah menyewa perahu yang sebelumnya mengantar kami ke Pulau Liukang.



Jarak dari penginapan menuju Pelabuhan Bira tidak terlampau jauh, cukup 10 menit berkendara. Dari pelabuhan Bira kemudian kami bertolak ke Pulau Liukang. Siang itu laut berombak dan matahari bersinar terik. Sepanjang perjalanan kami melewati pantai-pantai kecil yang belum dieksploitasi. Kontrasnya pasir putih dengan gradasi biru laut sangat mempesona indera. Kami memilih spot snorkeling yang tidak terlalu dalam, berjarak sekitar 200 meter dari garis pantai Pulau Liukang. Sesaat setelah lepas jangkar, satu per satu kami loncat dari perahu. Teriknya matahari dikalahkan oleh jernihnya air dan pemandangan bawah laut yang indah. Nampak berbagai macam jenis ikan dan terumbu karang. Sesekali kami berenang sambil membawa segumpal nasi, ikan-ikan punmendekati kami.

Pada hari Minggu kami bersiap untuk pulang. Melipat pakaian, menggulung kabel, membereskan matras, dan lainnya. Satu per satu barang kami masukkan ke tas masing-masing. Tas-tas diatur masuk ke dalam mobil, disusun dengan rapih. Kami siap untuk kembali ke Makassar. Kami menyempatkan untuk bersantap siang di warung depan penginapan kami. Semangkuk mie instan lengkap dengan potongan cabenya ditambah air dingin gratis pemberian ibu warung cukup mengganjal perut kami. Tidak lama, seorang nenek datang. Beliau sedikit menceritakan tentang pembuatan kapal Phinisi kepada kami. Pembuatan kapal tradisional ini memakan waktu setidaknya 2 tahun, tergantung ukuran. 50% kapal dibuat di darat, kemudian ditarik ke laut agar tidak terlalu berat. Lalu sisanya diselesaikan di laut. Diantaranya pemasangan tiang, pembuatan dek, atap, dan sentuhan akhir lainnya. Yang menarik perhatian kami adalah proses penarikan kapalnya. Bagaimana sebuah kapal dengan ukuran yang begitu besar ditarik ke laut oleh manusia? Bagaimana prosesnya? Bagaimana sistemnya? Apa yang mereka gunakan? Rupanya Senin esok adalah hari dimulainya penarikan sebuah kapal phinisi di Pantai Panrang Luhu. Malam sebelum dimulainya penarikan kapal, dilakukan sebuah ritual adat untuk keselamatan yang disebut dengan Barasanji. Kami dipersilahkan untuk menyaksikan ritual adat tersebut. Kami yang sudah siap untuk kembali ke Makassar memutuskan untuk tinggal semalam lagi di pantai Panrang Luhu, demi menyaksikan penarikan phinisi itu.

Tibanya kami di Panrang Luhu, warga setempat terlihat sibuk mempersiapkan Barasanji. Di bawah kapal terlihat kursi-kursi plastik, setengah dari keseluruhan kursi sudah diisi oleh bapak-bapak dan pemilik kapal berkebangsaan Jerman. Sementara di atas kapal sudah tertata rapih santap malam dan perlengkapan Barasanji. Perlengkapan Barasanji terdiri dari 4 jenis pisang (pisang ambon, pisang raja, pisang keppo, dan pisang susu), ketan putih dan ketan merah, serta dedanunan yang terdiri dari 47 jenis daun. Tidak lama kemudian orang yang melaksanakan Barasanji, warga sekitar, serta pemilik kapal naik ke atas kapal. Ritual barasanji dimulai.

Barasanji adalah ritual penolak bala yang dalam pelaksanaannya diceritakan kisah-kisah tentang Nabi Muhammad. Pa’barasanji, sebutan untuk orang yang melaksanakan ritual ini menceritakan kisah Nabi Muhammad secara bergantian. Ada 5 orang pa’barasanji yang menggunakan kemeja atau baju koko dan berkopiah. Setelah ritual barasanji dilaksanakan, kami serta warga yang lain dipersilahkan menyantap hidangan, sekali lagi gratis! Hehehe…. Setelah selesai makan malam, kami menyempatkan hunting photo di Pantai Panrang Luhu sebelum memasang tenda. Berbekal 1 tenda, hammock, dan beratapkan langit malam, kami tertidur pulas.


Tidak seperti dua hari sebelumnya, sunrise pada pagi itu sungguh indah dan cerah. Tidak ada awan yang mendung serta pantai yang begitu tenang. Momen sunrise hari itu membayar momen sunrise dua hari sebelumnya. Penarikan kapal dijadwalkan dimulai pada pukul delapan pagi. Ibu-ibu, anak-anak, masyarakat setempat, pemilik perahu, beberapa kerabat pemilik, turut menyaksikan proses peluncuran perahu ini. Disiapkan pula santap siang untuk para penarik, tamu, serta warga. Menu santap siang terdiri dari gulai kambing, daging sapi, ikan bakar, kue, dan bermacam makanan lainnya. Pada kedua sisi kapal dipasang kayu sebagai penahan agar kapal tidak miring ke kiri atau kanan. Pada kedua ujung kapal digantung kaki kambing, ujung depan kapal digantungkan kaki depan kambing sedangkan ujung belakang kapal digantungkan kaki belakang kambing, kaki kaki kambing tersebut digantungkan sebagai penolak bala. Kapal ini berukuran panjang total 30 meter. Fenides, nama kapal ini diambil dari nama istri Moritz, pemilik kapal ini berkebangsaan Jerman. Desainer kapal juga seorang berkebangsaan Jerman, Michael. Kapal dibuat dari kayu besi dengan campuran teknik pemasangan pasak dan paku. Kayu besi sendiri mempunyai sifat semakin kuat jika terendam air.

Sekitar 20 lelaki yang terlihat kuat dan kekar duduk di bawah kapal Phinisi yang akan ditarik. Terlihat sudah terpasang katrol pada ujung kapal, katrol ini yang nantinya membantu mempercepat proses penarikan kapal. Setelah berbagai pengukuran, dengan satu aba-aba Fenides mulai ditarik kearah laut. Rantai yang dipasang pada katrol ditarik oleh 20 orang secara bersamaan. Tarikan, semangat, kekompakan, serta dedikasi yang tinggi menggerakkan perahu ini ke arah laut milimeter demi milimeter, centimeter demi centimeter. Penarikan perahu ke laut membutuhkan waktu kurang lebih 1 minggu, atau 10 meter per harinya. 1 minggu bisa dibilang waktu yang cukup singkat jika dibandingkan dengan proses penarikan perahu tanpa menggunakan bantuan katrol yang memakan waktu hingga 1 bulan.

Setelah santap siang bersama, kami pamit pulang kepada warga setempat dan sang pemilik kapal. Beruntung kami bisa menyaksikan proses penarikan perahu ini secara langsung, sebuah momen yang tidak dapat disaksikan setiap saat. Meski jadwal pulang diundur sehari kami tidak merasa rugi. Pengalaman dan pengetahuan baru yang kami dapatkan saat itu melebihi ekspektasi kami akan kunjungan ke Tanjung Bira. Beragam pesonanya telah menyihir kami, pantai cantik hanya salah satunya saja.


Cerita dimuat juga di majalah : AZANA TRAVELLER MAGZ


Teks & Foto : Cheeryll Fhariza & Ray Syahputra

Comments


Featured Posts
!
Recent Posts
!
Archive
Search By Tags
Follow Us
  • Facebook - Black Circle
  • Instagram - Black Circle
  • YouTube - Black Circle
bottom of page